Sahabat Perindu: Tulisan Pertama untuk Ayah: Aku meradang melihat rautmu yang pasi sepulang dari usahamu menjadi warga yang baik itu, Ayah. Setelah memenuhi panggilan sang penegak hukum...
Sahabat Perindu
kata seringkali ada dibalik sepi, berselimut sunyi...
27/11/12
Tulisan Pertama untuk Ayah
Aku meradang melihat rautmu yang pasi sepulang dari usahamu menjadi warga yang baik itu, Ayah. Setelah memenuhi panggilan sang penegak hukum, kau bukannya merasa aman, tapi tubuhmu malah penuh dengan gigil. Kau tentu saja tak bersalah karena kau hanya seorang tua yang tidak sengaja melihat pertengkaran dua orang tetangga. Atas nama hukum, kau pun melangkahkan kaki ke istana sang penegak hukum sebagai saksi. Ya, di dalam surat atas nama hukum itu, mereka dengan kuasa menjadikanmu saksi, sang pemberi keterangan.Lantas, kau tinggalkan rumah dengan langkah ringan. Pikirmu, di sana tentu kau hanya menceritakan apa yang kau lihat. Tapi, nyatanya kita yang kecil ini hanya makanan bagi mereka yang berpangkat Ayah. Kau harus seharian di sana, di sebuah ruangan dan dikelilingi empat orang berseragam yang silih berganti mencercamu. Aku tahu, ini kali pertamu di sana. Raga tua siapa yang tak rapuh dikelilingi pria-pria muda yang menyembunyikan kepengecutan meraka dibalik seragam. Bahkan, kala waktu makan siang dan seorang teman datang membawa sebungkus nasi untuk mengganjal perutmu, mereka tanpa segan memintanya dan tanpa ampun melahap makanan itu. Sungguh, entah pelindung rakyat macam apa yang kita punya di negri ini, Ayah. Kau, dengan umurmu yang telah paruh baya, yang dengan tubuhmu yang tinggal kerangka, harus terpaksa menyesak gigil di dalam dada. Hingga sore, waktumu pulang telah tiba. Tapi lagi-lagi inginmu harus tercegat Ayah. Setelah membiarkan perutmu meronta seharian, kini mereka malah memeras isi kantongmu. Lagi-lagi mereka menunjukkan kuasa dibalik seragam sang penguasa. Berapa gigil lagi yang harus kau rasakan dalam sehari ini Ayah!! Kau yang kecil, yang harusnya mendapatkan perlindungan dari mereka, malah diperas dalam jiwa dan raga. Sungguh, aku meradang setelah sampai di rumah dan melihat pandanganmu yang pasi, Ayah. Tapi, lagi-lagi langkah kita tak akan pernah bisa menembus dosa mereka yang tersusun dibalik seragam itu, Ayah! Kelak, jika mereka kembali mengatasnamakan kuasa untuk memerasmu, biarkan kugenggam tanganmu dan kulempar gigil itu ke muka mereka, Ayah!
09/11/11
Terkungkung
Oleh Sari Fitria
Kutopangkan dagu pada
telapak tangan dan kutumpukan sikunya pada kusen jendela yang memiliki dua daun
pintu. Kayu-kayu pembentuk kusen ini terlihat begitu kokoh, warna coklat tua
makin membuatnya terlihat semakin kokoh. Tak hanya kusen jendela di kamarku
saja, sebagian jendela dan pintu dari rumah ini juga terbuat dari kayu jati
yang kokoh dengan warna coklat yang makin mempertajam kokohnya. Sementara itu,
beberapa jendela lainnya merupakan rangkaian besi-besi yang membentuk
ukiran-ukiran yang tak biasa kutemui di tempat asalku.
Tulisan Tangan
Oleh Sari Fitria
Sejak aku telah begitu lancar
mengeja deretan huruf yang bisa membentuk kata-kata, maka sejak itu pula aku
menyukai bacaan. Bagiku, terasa menakjubkan ketika kucoba menggandengkan
huruf-huruf yang berbeda di atas secarik kertas, lantas huruf-huruf yang berderet
manis itu akan membentuk sebuah kata. Jika aku tukar susunan huruf-huruf itu,
aku kembali takjub karena sebuah kata baru akan tercipta. Ketakjuban-ketakjuban
itu akhirnya membawaku pada takjub yang sangat lebih pada seseorang di masa
lalu yang telah menciptakan huruf, juga kata.
Ayah di Tengah Malam
Oleh Sari Fitria
Malam ini, disela tidur yang yang
kujalani dalam kepura-puraan, kembali kusaksikan ia bersolek, menepuk wajahnya
dengan bedak, memoles bibirnya dengan lipstik, mempertajam garis-garis yang
membentuk matanya, dan memasangkan bulu mata tambahan pada bulu matanya yang nyaris
tak tampak. Lantas, ditariknya laci pada meja tempatnya berias, dan
digantungkannya anting-anting yang sebelumnya menghuni laci itu. Kali ini,
pilihannya jatuh pada anting yang besarnya menyerupai gelang. Aku rasa, mainan
anting yang berat itu pun telah menarik jatuh ujung-ujung daun telinganya. Sekali
lagi, dipandangnya pantulan wajahnya dibalik cermin, kali ini dilakukannya
dengan mantap dan masih sempat kulihat seulas
senyum muncul dari bibirnya diiringi kedipan mata yang menutup ritual berias
itu.
05/03/10
Belenggu
Oleh Sari Fitria
Aku memandangi tanganku yang terikat rantai. Rantai-rantai besi itu mengikat begitu erat. Telah beberapa kali aku mencoba membukanya. Melalui cara lembut dengan cara menggesek-gesekan lenganku, menarik ikatannya dengan gigi agar bisa sedikit melonggar, dan dengan cara menarik kasar lenganku agar ikatan rantai itu bisa terlepas. Tapi semuanya sia-sia saja, rantai-rantai besi itu seakan telah menyatu dengan tubuhku.
Perih juga begitu terasa di pergelangan kakiku yang sedikit pun tak bisa aku gerakkan. Kedua kakiku selalu berselonjor. Aku penat dengan itu, aku ingin sekali menekuk kakiku, tapi aku tak mampu karena keduanya terikat begitu erat. Hingga akhirnya aku lelah mencoba terlepas dari semua belenggu yang terasa menyiksa ini.
Penerus
Oleh Sari Fitria
Hingga telah mencapai umur 12 tahun, mamaknya tak pernah mengembalikannya ke sekolah. Mamaknya lebih nyaman ketika mengajaknya ke dangau, melihatnya memberi makan sapi dan menyemai benih di sawah. Bagi mamaknya dan juga keluarga lainnya, kehidupannya begitu dinanti dan diinginkan. Apalagi disaat penerus keturunan begitu sulit dicapai oleh kaumnya. Kini, ia tinggal satu-satunya tumpuan mamaknya agar keturunan mereka tetap berlanjut. Makanya, ia tak pernah lagi kembali ke sekolah. Ketakutan mamaknya untuk kehilangan penerus terakhir telah membuatnya berada pada keadaan seperti itu.
Meginjak usia 15 tahun, ia pun telah harus seatap dengan seseorang yang disebut suami. Beruntunglah ia mendapat suami yang tak penuntut, yang menerima keadannya yang sangat jauh dari cukup, tanpa keahlian memanjakan suami dengan makanan yang lezat, tidak juga dengan kecekatan mengolah sawah dan ladang yang menjadi sumber pencarian mereka. Tapi, suaminya mulai tak tahan tatkala kulitnya meninggalkan bekas goresan yang tak hanya sekali ia dapatkan. Lebih tak rela ketika padi hasil tetesan peluhnya harus berserakan memenuhi rumah dan halaman mereka. Terpaksa, ia pun angkat kaki dari rumahnya, meninggalkan kampung halaman dan juga anak yang dicinta.
19/12/09
Antara Cinta dan Kasih
“Tom, loe kenapa? Dari tadi gue liatin loe ngelamun aja, bagi-bagi donk ceritanya!”
”Do, kalau loe dikasih kesempatan buat milih, loe bakal milih Cinta atau Kasih?”
”O,,,gue ngerti sekarang. Jadi loe mikirin antara cinta dan kasih ya. Tom, menurut gue ni ya, cinta itu memang baik dan cantik, tapi cinta ga harus saling memiliki Tom. Kalau kasih, setiap orang memang butuh kasih kan? Jadi, loe jangan sia-siain kasih lo ya? Tom,, tom,,loe seorang presiden BEM jangan mau dipecundangi cinta dan kasih, sob”
Rasa Itu Tak Pernah Sampai
Kedua bola mataku beradu pandang dengannya. Sejenak, kami mematung dan saling menatap dalam., menikmati tatapan itu tanpa diiringi untaian kata. Hanya saja, sesekali aku dapat melihat merah di kedua pipinya. Mungkin juga dia meliat hal yang sama pada wajahku. Tapi, semua itu cuma sampai di sana. Tak pernah berlanjut. Entah mengapa, aku dan dia hanya mampu ‘tuk saling menatap.
Kali ini pun sama. Dari kejauhan aku telah dapat melihat sosoknya tengah berjalan ke arahku. Meskipun jarak kami masih jauh, namun aku bisa merasakan tatapan matanya yang tak lepas dari ragaku. Kurasa merah itu telah kembali hinggap di pipiku dan pipinya. Namun, ketika jarak kami semakin dekat, ia hanya melewatiku. Tak sedikit pun ingin berhenti untuk sekedar menyebut namaku atau pun berkata hai’ padaku. Tapi, cukup denga tatapan itu, aku telah merasakan getar di hati ini. Seolah aku telah dapat merasakan betapa dalamnya rasa yang ia punya untukku. Entah, tapi aku akan merasa kebih sangat berarti jika ia mau mengungkapkan rasa itu. Dan aku pun, tak akan meraba-raba lagi rasa ini.
Langganan:
Postingan (Atom)