09/11/11

Ayah di Tengah Malam

Oleh Sari Fitria



       Malam ini, disela tidur yang yang kujalani dalam kepura-puraan, kembali kusaksikan ia bersolek, menepuk wajahnya dengan bedak, memoles bibirnya dengan lipstik, mempertajam garis-garis yang membentuk matanya, dan memasangkan bulu mata tambahan pada bulu matanya yang nyaris tak tampak. Lantas, ditariknya laci pada meja tempatnya berias, dan digantungkannya anting-anting yang sebelumnya menghuni laci itu. Kali ini, pilihannya jatuh pada anting yang besarnya menyerupai gelang. Aku rasa, mainan anting yang berat itu pun telah menarik jatuh ujung-ujung daun telinganya. Sekali lagi, dipandangnya pantulan wajahnya dibalik cermin, kali ini dilakukannya dengan mantap dan  masih sempat kulihat seulas senyum muncul dari bibirnya diiringi kedipan mata yang menutup ritual berias itu.

            Dengan tegang, kupaksa untuk memicingkan mata saat ia bangkit dari duduknya. Meski tak melihat, tapi aku bisa merasakan tatapan matanya tertuju pada tubuhku yang meringkuk dibalik selimut. Tubuhku menegang dan kurasa ada kerutan yang dipaksakan di kening dan sekitar mataku karena tidurku yang pura-pura ini. Tapi aku beruntung, ia hanya berlalu dan tak menyadari kepura-puraanku. Nyaris tanpa menghasilkan bunyi, ia menutup pintu kamarku tanpa mematikan lampu karena aku memang tak terbiasa tidur tanpa lampu.
            Kukibaskan selimut dan segera beralih menuju jendela kamar yang langsung menghadap ke bagian depan rumah. Kusingkap sedikit gorden yang menutup pandangan dari balik jendela dan kulihat ia membuka pagar dan melenggang di gelapnya malam. Saat bayangannya tak lagi tertangkap oleh mataku, aku hanya bisa kembali meringkuk dibalik selimut sambil menerka-nerka apa yang dilakukannya di luar rumah ketika lampu jalan telah bersinar sebagai penuntun jalan. Terkaan itu hanya berakhir dengan lelap dan mengawang saat ayah membagunkanku agar bersiap-siap untuk sekolah.
            Ayah memang tidak setiap hari membangunkanku. Pada akhir minggu, aku lebih sering bangun sendiri dan meninggalkan rumah saat ayah masih pulas dengan tidurnya. Selain harus meninggalkan rumah setiap pagi karena sekolah, di hari libur pun aku harus meninggalkan rumah untuk bekerja. Kesibukan ayah dan aku yang tak bisa menetap di rumah pada siang  hari, membuat kami menjadi jarang memasak. Seringnya, aku dan ayah membeli makanan yang telah jadi untuk mengganjal perut kami. Barulah setelah magrib, aku dan ayah bisa berbagi cerita. Saling bertanya tentang siang kami sambil mencemooh para pelawak di TV yang acap kali mempermalukan diri.
            Kebiasaan menghabiskan malam di depan TV ini memang telah menjadi kegiatan rutin bagiku dan Ayah. Bahkan, jika aku memiliki tugas sekolah, aku sering memindahkan buku-buku, pena, dan peralatan sekolah lainnya ke depan TV. Sambil menonton dan berbagi tawa bersama ayah, kutuntaskan sederet pertanyaan yang akan ditagih keesokan harinya oleh para guru di sekolah.
            Saat waktu telah bergeser ke angka sepuluh, ayah mengakhiri malam dengan mengusap kepalaku dan beralih ke kamarnya. Terkadang, akulah yang lebih dulu meninggalkan ayah di depan TV karena kantuk dan lelah. Sebelum menuju kamar, ayah akan mengusap rambutku. Hal ini selalu mengantarkanku pada kenyamanan saat aku hendak melelapkan mata.
            Namun, semua itu hanya berlangsung hingga aku kelas 2 SMP. Setelah itu, aku beberapa kali terjaga dari lelap, lantas menyaksikan satu sosok duduk di depan mejaku yang diatasnya terletak kaca besar. Aku ingin berteriak kala itu, tapi suaraku tertahan dan aku lebih memlih membenamkan wajah dalam bantal sambil menarik selimut hingga menutupi wajahku. Terasa keringat mengalir dari kening dan punggungku. Wajah dan tubuhku menjadi basah karena keringat yang keluar akibat rasa takut yang teramat sangat itu. Aku merasakan waktu berjalan sangat lama hingga sosok itu menghilang dari depan meja tempat aku biasa berkaca. Saat itu, aku benar-benar tak bisa lagi memicingkan mata dan kucoba untuk menghapuskan pikiran tentang setan, jin, maling, penjahat, pemerkosa dan hal-hal lainnya yang aku tuduhkan pada sosok itu. Esoknya, aku langsung menceritakan tentang sosok yang kulihat tadi malam pada ayah seketika setelah ia mengguncang tubuhku agar aku terbangun dari tidur.
            “Itu hanya mimpimu. Mimpi seringkali datang kalau kamu terlalu lelah, atau siangnya kamu menonton film horor ya?”
            Penjelasanku meminta pembenaran dari ayah tak pernah kesampaian. Pada akhirnya, ayah mengakhiri rengekanku dengan menyuruhku untuk tidak terlalu banyak nonton film horor. Benar-benar saran yang tak bisa kuterima.
            Namun, untuk malam-malam berikutnya, meski tetap dalam ketakutan, aku mulai terbiasa dengan kehadiran sosok yang menghuni tempatku biasa berkaca itu. Kali ini, ketakutanku tak lagi membuat badanku basah dan berpeluh. Itu terjadi begitu aku memperoleh keyakinan kalau sosok yang berkaca itu adalah orang terdekatku, yang numpang berkaca di ruanganku. Ya, di rumah ini, memang tak ada lagi kaca di ruang lain selain di kamarku.  
            “Kamu tahu Rum, ayah yang hanya tukang payung keliling takkan cukup untuk membuat kita tetap hidup. Apalagi, sekarang tak banyak orang yang memperbaiki payung. Mereka lebih suka membuang yang usang dan membeli yang baru. Ayah yang juga tidak tamat sekolah ini bisa apalagi, Rum? Untung ada bang Meldi yang mengenalkan cara ini pada ayah. Cuma dengan begini ayah bisa dapat uang yang cukup untuk sekolahmu, untuk makan kita, untuk mengontrak rumah ini, dan membeli barang-barang untuk hidup kita. Cuma menjadi perempuan jalan termudah Rum! Cukup perlihatkan betis dan uang akan mengalir di kantong. Rum, kau harus percaya pada ayah. Ini hanya sekedar mengencani orang-orang kaya yang tak tahu lagi cara menghabiskan uang mereka.”
            Maka, tak ada kalimat yang mampu keluar dari mulutku untuk membantah dan melarang ayah. Toh, pada kenyataannya kami memang perlu uang. Meski dalam tangis, aku merelakan kepergian ayah hampir di tiap malam dengan mengenakan pakaian-pakaian yang entah darimana ia dapatkan. Aku rasa pakaian itu juga bukan milik ibu karena aku ingat betul bagaimana ibu mengosongkan seluruh isi lemarinya ketika hendak meninggalkan aku dan ayah. Saat itu aku baru saja akan memamerkan kelulusanku pada ibu, tapi ibu hanya sibuk mengisi koper dengan pakaian-pakaiannya. Bahkan, air mataku pun tak mampu menahan kepergian Ibu. Menjelang senja, ayah mendapatiku terisak di depan pintu dan sejak saat itu, aku merasakan kasih sayang yang berlipat ganda dari ayah.
Maka, aku pun tak pernah lagi membahas tentang sosok ayah di tengah malam. Rasa hormatku malah makin menjadi-jadi pada ayah karena hampir tiap hari, ayah masih selalu membangunkanku dengan baju kaus dan celana pendek yang biasa ia pakai saat di rumah. Aku tak pernah benar-banar tahu kapan ayah kembali ke rumah. Bagiku, telah cukup melegakan saat aku meninggalkan ayah di depan TV ketika ingin tidur dan kembali menemukan ayah di pagi harinya dengan rupa yang sama, bukan rupa yang aku temukan saat aku terjaga di tengah malam.
Pada akhir minggu, barulah aku terbangun lebih dulu dari ayah. Meski tak ada yang memberitahu, tapi aku yakin hari Sabtu dan Minggu, pastilah ayah memiliki banyak pelanggan yang menyebabkan ayah harus pulang lebih lambat dari biasanya.
Agar ayah tak terlalu lelah, aku memutuskan mencari kerja paruh waktu dan aku pun diterima sebagai seorang pelayan di sebuah kafe. Pekerjaan ini membuatku menjadi jarang berkumpul dengan teman-teman sekolah karena aku jadi tak memiliki banyak waktu luang untuk mereka. Uang tips yang aku dapatkan dari para tamu pun membantu keuangan kami hingga ayah tak perlu lagi keluar rumah di akhir minggu. Seorang laki-laki paruh baya yang juga pelanggan di kafe tempatku bekerja acap kali memberiku tips dengan jumlah yang jauh lebih besar dari yang biasa kuterima. Awalnya, aku merasa tak nyaman dengan sikap laki-laki yang selalu membawa mobil dengan plat yang membentuk namanya itu. Belakangan, aku baru tahu kalau dia tak memiliki anak dan menurutnya, kegigihanku sekolah sambil kerja membuatnya begitu mengagumiku. Hal ini pun membuatku mendapatkan kasih sayang yang berlebih dari orang yang tak memiliki hubungan darah denganku ini.
            Suatu waktu, aku pulang membawa kemeja dan celana baru untuk ayah, juga membawa makanan yang aku yakin ayah belum pernah memakannya seumur hidupnya. Saat aku memberikan pakaian dan makanan itu pada ayah, ia begitu senang. Senyum tak henti-hentinya mengembang dari wajahnya. Ayah begitu lahap memakan pizza yang aku bawakan. Kala itu, hatiku benar-benar tenang, inilah sosok yang aku inginkan dari ayah. Sosok yang tak perlu memperlihatkan beban berat yang terpancar di wajahnya, juga  bukan sosoknya yang tertidur dengan helaan nafas lelah dengan kembang kempis dadanya yang menulang.
            “Rum, tadi kamu pulang diantar mobil bagus. Yang mengantar kamu pulang itu siapa, Rum?”
            Cuma pertanyaan ayah inilah yang sedikit mengganggu kelegaanku atas senyum lepas yang telah dipancarkan ayah sebelumnya. Aku tak begitu yakin kalau ayah bisa menerima seorang laki-laki paruh baya yang tulus menyayangiku.
***
Suatu kali, aku begitu ingin tahu apa saja yang dilakukan ayah dengan pelanggan-pelanggannya. Pelanggan, aku sedikit geli ketika pertama kali mendengar ayah dan bang Meldi menyematkan kata pelanggan pada orang-orang kaya yang tak tahu lagi cara menghabiskan uang itu. Sebutan itu terasa janggal di telingaku. Seringnya aku mendengar tukang ojeklah yang saling berebutan pelanggan, tapi ternyata orang-orang seperti ayahku, yang telah menjelma menjadi sosok yang lain di tengah malam, juga acapkali berebut pelanggan. Itu kuketahui setelah memenuhi rasa penasaranku pada sosok ayah di tengah malam.
Malam itu, tak lama setelah ayah melewati pagar kayu yang menjadi pembatas antara rumahku dengan jalanan, aku pun bergegas meninggalkan rumah. Berbalut jaket hitam dan rambut yang sengaja kutata terkulai dengan harapan bisa menyembunyikan identitasku, aku pun mengikuti jejak ayah dengan jarak yang cukup terjaga agar ayah tak memergokiku. Ini pertama kalinya aku keluar rumah di malam hari. Sedikit gigil pun menyapa tengkukku saat berpapasan dengan angin malam. Kadang, aku terlonjak sendiri karena sesuatu yang tak pasti, untunglah aku mampu mengontrol diri hingga tak berteriak atas keterkejutanku itu. Bagiku, di bawah keremangan lampu jalan, segala sesuatu dengan mudahnya terasa menakutkan.
Kakiku mulai pegal, rasanya telah lebih 15 menit aku mengikuti ayah, tapi ia tak juga berhenti. Beberapa gang pun telah kulewati, namun ayah seakan tak sampai pada tempat yang ditujunya. Sesaat, muncul di pikiranku untuk kembali ke rumah karena debar jantungku yang makin tak karuan saat membuntuti ayah di malam yang seakan tak bernyawa ini. Tapi, untuk kembali melangkahkan kaki ke rumah seorang diri malah membuatku makin resah. Berjalan seorang diri di gelapnya malam tentu lebih menakutkan. Aku lebih merasakan sedikit kenyamanan berjalan di tengah malam ketika ayah berada tak begitu jauh di depanku. Setidaknya, jika sesuatu terjadi padaku, aku bisa berteriak dan memanggil ayah. Urusan kemarahan ayah yang mengetahui aku membuntutinya bukanlah masalah besar. Ayah pasti akan marah, tapi tak mungkin selamanya.
Taman Melati, sebuah taman di tengah kota tempatku tinggal, ternyata inilah tempat yang dituju ayah. Di tengah malam seperti ini, ternyata tempat ini tidak selengang gang-gang yang aku lewati tadi. Deru mobil yang sesekali lewat membuat malam di tempat ini lebih hidup, ditambah lagi ketika aku mulai melihat sosok-sosok seperti ayah bermunculan dan saling menyapa. Setelah itu, mereka pun memencar. Aku sedikit terkesima dengan sosok terakhir yang meninggalkan ayah. Sebenarnya, aku sedikit minder karena entah akibat polesan bedak atau apa, aku merasa sosok itu sangat cantik dan anggun, melebihi kecantikan dan keanggunanku sebagai seorang perempuan asli. Ah, bermacam rasa berkecamuk di pikiranku menyaksikan pemandangan ini.
Belum sampai lima menit di tempat ini, aku melihat sebuah mobil berhenti tak jauh dari  tempat ayah berdiri. Ayah dan beberapa temannya pun berlarian menuju mobil yang berhenti itu. Berbagai rayuan pun keluar dari mulut mereka. Suara mereka saling beradu dan aku pun tak bisa membedakan rayuan mana yang keluar dari mulut ayah. Di tengah rayuan-rayuan mereka kepada orang yang bermobil itu, aku pun bisa memastikan kalau mereka saling mendorong agar bisa berdiri paling dekat dengan pintu mobil. Aku menyaksikan ayah sedikit terdesak ke belakang. Entah bagaimana caranya, akhirnya kerumunan itu pun bubar setelah seseorang dengan rambut sepinggang berwarna kemerahan menaiki mobil itu. Sosok berambut merah itu adalah teman ayah yang tadi sempat mebuatku minder sebagai seorang wanita. Umpatan kekesalan pun keluar dari beberapa orang yang gagal mendapatkan pelanggan itu.
Aku semakin merapatkan jaket karena dingin yang semakin menusuk tulang. Kubenahi pula rambut yang mulai menghalangi pandanganku. Saat itulah sebuah mobil tepat berhenti di depan ayah. Mataku semakin yalang meyaksikan apa yang akan terjadi pada ayah. Setelah lebih kufouskan pandangan pada ayah dan mobil itu, aku merasa kalau mobil itu begitu tak asing bagiku. Kugeser sedikit langkah dan pandangan agar bisa mengeja deretan angka yang berjajar pada plat mobil itu. Mulutku sedikit ternganga melihat deretan angkanya yang membentuk sebuah nama. Ingin segera kuberlari ke tempat ayah dan melihat sosok yang berada dibalik kemudi mobil itu, tapi mobil itu telah berlalu dan aku pun tak lagi melihat ayah. Ia telah berlalu dengan seseorang yang tak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan uangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar