Oleh Sari Fitria
Malam ini, disela tidur yang yang
kujalani dalam kepura-puraan, kembali kusaksikan ia bersolek, menepuk wajahnya
dengan bedak, memoles bibirnya dengan lipstik, mempertajam garis-garis yang
membentuk matanya, dan memasangkan bulu mata tambahan pada bulu matanya yang nyaris
tak tampak. Lantas, ditariknya laci pada meja tempatnya berias, dan
digantungkannya anting-anting yang sebelumnya menghuni laci itu. Kali ini,
pilihannya jatuh pada anting yang besarnya menyerupai gelang. Aku rasa, mainan
anting yang berat itu pun telah menarik jatuh ujung-ujung daun telinganya. Sekali
lagi, dipandangnya pantulan wajahnya dibalik cermin, kali ini dilakukannya
dengan mantap dan masih sempat kulihat seulas
senyum muncul dari bibirnya diiringi kedipan mata yang menutup ritual berias
itu.
Dengan tegang, kupaksa untuk
memicingkan mata saat ia bangkit dari duduknya. Meski tak melihat, tapi aku
bisa merasakan tatapan matanya tertuju pada tubuhku yang meringkuk dibalik
selimut. Tubuhku menegang dan kurasa ada kerutan yang dipaksakan di kening dan
sekitar mataku karena tidurku yang pura-pura ini. Tapi aku beruntung, ia hanya
berlalu dan tak menyadari kepura-puraanku. Nyaris tanpa menghasilkan bunyi, ia
menutup pintu kamarku tanpa mematikan lampu karena aku memang tak terbiasa
tidur tanpa lampu.
Kukibaskan selimut dan segera
beralih menuju jendela kamar yang langsung menghadap ke bagian depan rumah.
Kusingkap sedikit gorden yang menutup pandangan dari balik jendela dan kulihat
ia membuka pagar dan melenggang di gelapnya malam. Saat bayangannya tak lagi
tertangkap oleh mataku, aku hanya bisa kembali meringkuk dibalik selimut sambil
menerka-nerka apa yang dilakukannya di luar rumah ketika lampu jalan telah
bersinar sebagai penuntun jalan. Terkaan itu hanya berakhir dengan lelap dan
mengawang saat ayah membagunkanku agar bersiap-siap untuk sekolah.
Ayah memang tidak setiap hari
membangunkanku. Pada akhir minggu, aku lebih sering bangun sendiri dan
meninggalkan rumah saat ayah masih pulas dengan tidurnya. Selain harus
meninggalkan rumah setiap pagi karena sekolah, di hari libur pun aku harus
meninggalkan rumah untuk bekerja. Kesibukan ayah dan aku yang tak bisa menetap
di rumah pada siang hari, membuat kami
menjadi jarang memasak. Seringnya, aku dan ayah membeli makanan yang telah jadi
untuk mengganjal perut kami. Barulah setelah magrib, aku dan ayah bisa berbagi
cerita. Saling bertanya tentang siang kami sambil mencemooh para pelawak di TV
yang acap kali mempermalukan diri.
Kebiasaan menghabiskan malam di
depan TV ini memang telah menjadi kegiatan rutin bagiku dan Ayah. Bahkan, jika
aku memiliki tugas sekolah, aku sering memindahkan buku-buku, pena, dan
peralatan sekolah lainnya ke depan TV. Sambil menonton dan berbagi tawa bersama
ayah, kutuntaskan sederet pertanyaan yang akan ditagih keesokan harinya oleh
para guru di sekolah.
Saat waktu telah bergeser ke angka
sepuluh, ayah mengakhiri malam dengan mengusap kepalaku dan beralih ke
kamarnya. Terkadang, akulah yang lebih dulu meninggalkan ayah di depan TV
karena kantuk dan lelah. Sebelum menuju kamar, ayah akan mengusap rambutku. Hal
ini selalu mengantarkanku pada kenyamanan saat aku hendak melelapkan mata.
Namun, semua itu hanya berlangsung
hingga aku kelas 2 SMP. Setelah itu, aku beberapa kali terjaga dari lelap, lantas
menyaksikan satu sosok duduk di depan mejaku yang diatasnya terletak kaca
besar. Aku ingin berteriak kala itu, tapi suaraku tertahan dan aku lebih memlih
membenamkan wajah dalam bantal sambil menarik selimut hingga menutupi wajahku. Terasa
keringat mengalir dari kening dan punggungku. Wajah dan tubuhku menjadi basah
karena keringat yang keluar akibat rasa takut yang teramat sangat itu. Aku
merasakan waktu berjalan sangat lama hingga sosok itu menghilang dari depan meja
tempat aku biasa berkaca. Saat itu, aku benar-benar tak bisa lagi memicingkan
mata dan kucoba untuk menghapuskan pikiran tentang setan, jin, maling,
penjahat, pemerkosa dan hal-hal lainnya yang aku tuduhkan pada sosok itu. Esoknya,
aku langsung menceritakan tentang sosok yang kulihat tadi malam pada ayah seketika
setelah ia mengguncang tubuhku agar aku terbangun dari tidur.
“Itu hanya mimpimu. Mimpi seringkali
datang kalau kamu terlalu lelah, atau siangnya kamu menonton film horor ya?”
Penjelasanku meminta pembenaran dari
ayah tak pernah kesampaian. Pada akhirnya, ayah mengakhiri rengekanku dengan
menyuruhku untuk tidak terlalu banyak nonton film horor. Benar-benar saran yang
tak bisa kuterima.
Namun, untuk malam-malam berikutnya,
meski tetap dalam ketakutan, aku mulai terbiasa dengan kehadiran sosok yang
menghuni tempatku biasa berkaca itu. Kali ini, ketakutanku tak lagi membuat badanku
basah dan berpeluh. Itu terjadi begitu aku memperoleh keyakinan kalau sosok
yang berkaca itu adalah orang terdekatku, yang numpang berkaca di ruanganku.
Ya, di rumah ini, memang tak ada lagi kaca di ruang lain selain di kamarku.
“Kamu tahu Rum, ayah yang hanya tukang
payung keliling takkan cukup untuk membuat kita tetap hidup. Apalagi, sekarang
tak banyak orang yang memperbaiki payung. Mereka lebih suka membuang yang usang
dan membeli yang baru. Ayah yang juga tidak tamat sekolah ini bisa apalagi,
Rum? Untung ada bang Meldi yang mengenalkan cara ini pada ayah. Cuma dengan
begini ayah bisa dapat uang yang cukup untuk sekolahmu, untuk makan kita, untuk
mengontrak rumah ini, dan membeli barang-barang untuk hidup kita. Cuma menjadi
perempuan jalan termudah Rum! Cukup perlihatkan betis dan uang akan mengalir di
kantong. Rum, kau harus percaya pada ayah. Ini hanya sekedar mengencani
orang-orang kaya yang tak tahu lagi cara menghabiskan uang mereka.”
Maka, tak ada kalimat yang mampu
keluar dari mulutku untuk membantah dan melarang ayah. Toh, pada kenyataannya
kami memang perlu uang. Meski dalam tangis, aku merelakan kepergian ayah hampir
di tiap malam dengan mengenakan pakaian-pakaian yang entah darimana ia
dapatkan. Aku rasa pakaian itu juga bukan milik ibu karena aku ingat betul bagaimana
ibu mengosongkan seluruh isi lemarinya ketika hendak meninggalkan aku dan ayah.
Saat itu aku baru saja akan memamerkan kelulusanku pada ibu, tapi ibu hanya
sibuk mengisi koper dengan pakaian-pakaiannya. Bahkan, air mataku pun tak mampu
menahan kepergian Ibu. Menjelang senja, ayah mendapatiku terisak di depan pintu
dan sejak saat itu, aku merasakan kasih sayang yang berlipat ganda dari ayah.
Maka,
aku pun tak pernah lagi membahas tentang sosok ayah di tengah malam. Rasa
hormatku malah makin menjadi-jadi pada ayah karena hampir tiap hari, ayah masih
selalu membangunkanku dengan baju kaus dan celana pendek yang biasa ia pakai
saat di rumah. Aku tak pernah benar-banar tahu kapan ayah kembali ke rumah.
Bagiku, telah cukup melegakan saat aku meninggalkan ayah di depan TV ketika ingin
tidur dan kembali menemukan ayah di pagi harinya dengan rupa yang sama, bukan
rupa yang aku temukan saat aku terjaga di tengah malam.
Pada
akhir minggu, barulah aku terbangun lebih dulu dari ayah. Meski tak ada yang
memberitahu, tapi aku yakin hari Sabtu dan Minggu, pastilah ayah memiliki
banyak pelanggan yang menyebabkan ayah harus pulang lebih lambat dari biasanya.
Agar
ayah tak terlalu lelah, aku memutuskan mencari kerja paruh waktu dan aku pun
diterima sebagai seorang pelayan di sebuah kafe. Pekerjaan ini membuatku
menjadi jarang berkumpul dengan teman-teman sekolah karena aku jadi tak
memiliki banyak waktu luang untuk mereka. Uang tips yang aku dapatkan dari para
tamu pun membantu keuangan kami hingga ayah tak perlu lagi keluar rumah di
akhir minggu. Seorang laki-laki paruh baya yang juga pelanggan di kafe tempatku
bekerja acap kali memberiku tips dengan jumlah yang jauh lebih besar dari yang
biasa kuterima. Awalnya, aku merasa tak nyaman dengan sikap laki-laki yang selalu
membawa mobil dengan plat yang membentuk namanya itu. Belakangan, aku baru tahu
kalau dia tak memiliki anak dan menurutnya, kegigihanku sekolah sambil kerja
membuatnya begitu mengagumiku. Hal ini pun membuatku mendapatkan kasih sayang
yang berlebih dari orang yang tak memiliki hubungan darah denganku ini.
Suatu waktu, aku pulang membawa
kemeja dan celana baru untuk ayah, juga membawa makanan yang aku yakin ayah
belum pernah memakannya seumur hidupnya. Saat aku memberikan pakaian dan
makanan itu pada ayah, ia begitu senang. Senyum tak henti-hentinya mengembang
dari wajahnya. Ayah begitu lahap memakan pizza yang aku bawakan. Kala itu,
hatiku benar-benar tenang, inilah sosok yang aku inginkan dari ayah. Sosok yang
tak perlu memperlihatkan beban berat yang terpancar di wajahnya, juga bukan sosoknya yang tertidur dengan helaan
nafas lelah dengan kembang kempis dadanya yang menulang.
“Rum, tadi kamu pulang diantar mobil
bagus. Yang mengantar kamu pulang itu siapa, Rum?”
Cuma pertanyaan ayah inilah yang
sedikit mengganggu kelegaanku atas senyum lepas yang telah dipancarkan ayah
sebelumnya. Aku tak begitu yakin kalau ayah bisa menerima seorang laki-laki
paruh baya yang tulus menyayangiku.
***
Suatu
kali, aku begitu ingin tahu apa saja yang dilakukan ayah dengan
pelanggan-pelanggannya. Pelanggan, aku sedikit geli ketika pertama kali mendengar
ayah dan bang Meldi menyematkan kata pelanggan pada orang-orang kaya yang tak
tahu lagi cara menghabiskan uang itu. Sebutan itu terasa janggal di telingaku.
Seringnya aku mendengar tukang ojeklah yang saling berebutan pelanggan, tapi
ternyata orang-orang seperti ayahku, yang telah menjelma menjadi sosok yang
lain di tengah malam, juga acapkali berebut pelanggan. Itu kuketahui setelah
memenuhi rasa penasaranku pada sosok ayah di tengah malam.
Malam
itu, tak lama setelah ayah melewati pagar kayu yang menjadi pembatas antara
rumahku dengan jalanan, aku pun bergegas meninggalkan rumah. Berbalut jaket
hitam dan rambut yang sengaja kutata terkulai dengan harapan bisa
menyembunyikan identitasku, aku pun mengikuti jejak ayah dengan jarak yang cukup
terjaga agar ayah tak memergokiku. Ini pertama kalinya aku keluar rumah di
malam hari. Sedikit gigil pun menyapa tengkukku saat berpapasan dengan angin
malam. Kadang, aku terlonjak sendiri karena sesuatu yang tak pasti, untunglah
aku mampu mengontrol diri hingga tak berteriak atas keterkejutanku itu. Bagiku,
di bawah keremangan lampu jalan, segala sesuatu dengan mudahnya terasa
menakutkan.
Kakiku
mulai pegal, rasanya telah lebih 15 menit aku mengikuti ayah, tapi ia tak juga
berhenti. Beberapa gang pun telah kulewati, namun ayah seakan tak sampai pada
tempat yang ditujunya. Sesaat, muncul di pikiranku untuk kembali ke rumah
karena debar jantungku yang makin tak karuan saat membuntuti ayah di malam yang
seakan tak bernyawa ini. Tapi, untuk kembali melangkahkan kaki ke rumah seorang
diri malah membuatku makin resah. Berjalan seorang diri di gelapnya malam tentu
lebih menakutkan. Aku lebih merasakan sedikit kenyamanan berjalan di tengah
malam ketika ayah berada tak begitu jauh di depanku. Setidaknya, jika sesuatu
terjadi padaku, aku bisa berteriak dan memanggil ayah. Urusan kemarahan ayah
yang mengetahui aku membuntutinya bukanlah masalah besar. Ayah pasti akan
marah, tapi tak mungkin selamanya.
Taman
Melati, sebuah taman di tengah kota tempatku tinggal, ternyata inilah tempat
yang dituju ayah. Di tengah malam seperti ini, ternyata tempat ini tidak
selengang gang-gang yang aku lewati tadi. Deru mobil yang sesekali lewat
membuat malam di tempat ini lebih hidup, ditambah lagi ketika aku mulai melihat
sosok-sosok seperti ayah bermunculan dan saling menyapa. Setelah itu, mereka
pun memencar. Aku sedikit terkesima dengan sosok terakhir yang meninggalkan ayah.
Sebenarnya, aku sedikit minder karena
entah akibat polesan bedak atau apa, aku merasa sosok itu sangat cantik dan
anggun, melebihi kecantikan dan keanggunanku sebagai seorang perempuan asli.
Ah, bermacam rasa berkecamuk di pikiranku menyaksikan pemandangan ini.
Belum
sampai lima menit di tempat ini, aku melihat sebuah mobil berhenti tak jauh
dari tempat ayah berdiri. Ayah dan
beberapa temannya pun berlarian menuju mobil yang berhenti itu. Berbagai rayuan
pun keluar dari mulut mereka. Suara mereka saling beradu dan aku pun tak bisa membedakan
rayuan mana yang keluar dari mulut ayah. Di tengah rayuan-rayuan mereka kepada
orang yang bermobil itu, aku pun bisa memastikan kalau mereka saling mendorong
agar bisa berdiri paling dekat dengan pintu mobil. Aku menyaksikan ayah sedikit
terdesak ke belakang. Entah bagaimana caranya, akhirnya kerumunan itu pun bubar
setelah seseorang dengan rambut sepinggang berwarna kemerahan menaiki mobil itu.
Sosok berambut merah itu adalah teman ayah yang tadi sempat mebuatku minder sebagai seorang wanita. Umpatan
kekesalan pun keluar dari beberapa orang yang gagal mendapatkan pelanggan itu.
Aku
semakin merapatkan jaket karena dingin yang semakin menusuk tulang. Kubenahi
pula rambut yang mulai menghalangi pandanganku. Saat itulah sebuah mobil tepat
berhenti di depan ayah. Mataku semakin yalang meyaksikan apa yang akan terjadi
pada ayah. Setelah lebih kufouskan pandangan pada ayah dan mobil itu, aku
merasa kalau mobil itu begitu tak asing bagiku. Kugeser sedikit langkah dan
pandangan agar bisa mengeja deretan angka yang berjajar pada plat mobil itu. Mulutku
sedikit ternganga melihat deretan angkanya yang membentuk sebuah nama. Ingin
segera kuberlari ke tempat ayah dan melihat sosok yang berada dibalik kemudi
mobil itu, tapi mobil itu telah berlalu dan aku pun tak lagi melihat ayah. Ia
telah berlalu dengan seseorang yang tak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan
uangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar