09/11/11

Terkungkung

Oleh Sari Fitria


          Kutopangkan dagu pada telapak tangan dan kutumpukan sikunya pada kusen jendela yang memiliki dua daun pintu. Kayu-kayu pembentuk kusen ini terlihat begitu kokoh, warna coklat tua makin membuatnya terlihat semakin kokoh. Tak hanya kusen jendela di kamarku saja, sebagian jendela dan pintu dari rumah ini juga terbuat dari kayu jati yang kokoh dengan warna coklat yang makin mempertajam kokohnya. Sementara itu, beberapa jendela lainnya merupakan rangkaian besi-besi yang membentuk ukiran-ukiran yang tak biasa kutemui di tempat asalku.

Aku pun bisa berkaca pada lantai yang kutapaki ini. Ketika kutekukkan kepala, sepasang bola mata langsung menantang kedua bola mataku. Agak ke bawah dengan posisi diantara kedua mata itu, muncul hidung dan dibawahnya lagi, lekuk bibir tergambar samar-samar. Semuanya berwarna sama saja. Mata, hidung, dan bibirku terpantul dalam satu warna pada lantai licin merah hati ini.
Mewah. Hunian ini memang teramat mewah bagiku yang biasa menghabiskan hari di hunian tanpa batu. Setiap dinding di ruangan ini tersaji dalam berbagai warna. Dinding kamarku ini hijau. Ketika baru memasuki pintu rumah ini, dinding putih akan menyambut mata. Jika aku beranjak ke dapur, dinding birulah yang menemaniku. Ah, aku sangat jarang menginjak dapur di tempat ini. Hariku hanya banyak dihabiskan di kamar ini, bersama kasur yang besarnya tiga kali lipat dari tubuhku. Juga lemari yang tingginya jauh melebihi tubuhku. Lemari ini menempel di dinding dan di sisi kanan tempat tidurku. Sisi kiri tempat tidur ini menjadi tempat yang sering kukunjungi. Jika harus berada di kamar dan bosan berbaring dan mengantuk, aku selalu menuju sisi kiri tempat tidurku ini. Di sini, mataku bisa lepas dari kebosanan yang selama ini dilihatnya. Di sisi kiri tempat tidur ini, bagian tengah dindingnya seakan bolong sehingga mataku pun takkan terkukung pada dinding-dinding hijau saja.
Di bagian bolong yang memetak ini, aku bisa menjernihkan kedua bola mataku dengan menyaksikan ulat kecil yang menikmati daun dari bunga kertas yang rantingnya menjalar hingga begitu dekat dengan jendela kamarku. Jambu-jambu yang bergelantungan dan mulai memerah pun juga menjernihkan pandangan. Sayang, penjernihan mata ini cuma bisa kurasakan sampai pohon jambu itu. Setelah itu, tembok yang beberapa jengkal melebihi tinggiku menghalangi pandangan. Aku pun hanya penasaran ingin menyaksikan sesuatu dibalik tembok itu secara bebas tanpa harus terhalang susunan batu tinggi yang menjadi benteng rumah ini.
            Haus menyiksaku berlama-lama di jendela ini. Tak perlu jauh untuk sekedar menjangkau air putih karena di dekat jendela ini, sebuah meja kecil telah sengaja disediakan untukku. Di atas meja itu, sebuah ceret dan gelas selalu betah berada di sana. Aku tinggal menuang air saja jika haus. Masih di atas meja, empat bungkus makanan ringan tersusun rapi, satu diantaranya telah kubuka dan kuikatkan karet diujungnya yang terbuka agar tak mengundang semut untuk ikut mencicipinya. Telah dua minggu biskuit-biskuit itu di sana. Waktu pertama kali menantuku mengantarkannya ke kamar, langsung kubuka biskuit itu setelah ia keluar dari kamarku. Tapi, biskuit itu tak mampu mengalahkan rinduku pada batiah, paniaram, dan galamai.
            Ah, berlama-lama di sini benar-benar membunuhku perlahan. Di minggu-minggu pertama setelah anakku membawaku ke tempat ini, aku berjalan-jalan mencari teman, tapi aku tak menemukan tetangga yang berteriak agar aku singgah sebentar di rumahnya, juga tak ada segerombolan anak-anak yang berlarian, namun tetap menyapa dan tersenyum ketika orang-orang melewati mereka, bahkan ayam-ayam pun tak berkeliaran di sini. Aku hanya menemukan deru motor dan mobil yang menjadi-jadi ributnya ketika melewatiku.
            Seringnya, memang hanya kuhabiskan waktu di kamar ini. Pernah aku tak dikamar dan berada di ruang lain di kamar ini. Di sana, menantu dan dua orang cucuku sering menghabiskan waktu. Jika malam, anak semata mayangku juga ada di sana. Di ruang itu, mereka berselonjor dengan mata memandang pada satu tujuan. Sebuah kotak persegi yang memantulkan cahaya, mengeluarkan suara, dan menayangkan berbagai benda dan makhluk di dalamnya. Semua itu selalu mampu menarik perhatian anak, menantu dan cucu-cucuku. Aku tak mengerti mengapa mereka berlama-lama di depan kotak persegi itu. Bagiku, memfokuskan mata pada kotak itu terasa melelahkan.
            “Kalau Ibu lelah, tiduran saja di kamar,” seru menantuku saat kuhenyakkan pantat di sofa empuk di ruangan lain di rumah ini. Aku tahu, menantuku itu bukannya perhatian padaku, tapi pastilah dia tak ingin kursi empuknya itu diduduki wanita tua yang menyusahkan sepertiku.   
            Kali ini, aku benar-benar merindukan hunianku yang berdindingkan anyaman bambu, berlantaikan papan dan terdapat kolong yang juga berguna untuk kandang ayam di bawahnya. Dua kali Idul Fitri aku lalui di sini. Saatku meminta kepada anakku untuk pulang kampung beberapa hari saja untuk sekedar tahu keadaan rumah di kampung yang telah dua tahun tak pernah dihuni, putraku selalu beralasan.
Kemeja dan dasi yang digunakannya lima hari dalam seminggu selalu menjadi penghalang kepergianku untuk pulang kampung. Dua hari tak bekerja dalam seminggu itu adalah waktu luang baginya untuk melepaskan lelah setelah lima hari membanting tulang. Lama kelamaan, penolakannya untuk selalu memabawaku pulang kampung membungkam mulutku untuk memintanya.
            Lama kuangkat tangan untuk memohon pada yang kuasa agar memutus nafasku ketika aku sedang di kampung saja. Aku sungguh tak ingin terkubur di  tanah yang tak kukenal ini. Aku pun sudah ingin untuk tak berdoa seorang diri di kamar ini. Dulu, seringnya aku berdoa bersama dengan masyarakat satu kampung di surau nagari kami. Entah dengan siapa aku harus memohon untuk ini semenjak pintaku hanya dibalas seribu alasan oleh putraku.
***
            Semakin lama, hidup di sini makin terasa menyiksa. Aku tak lagi berselera memasukkan nasi dan lauk melewati kerongkonganku. Kebosananku akan penolakan-penolakan putraku untuk mengantarkanku pulang kampung membuatku membanting piring berisi nasi dan lauk yang coba diberikan cucuku ke tanganku. Dia tersentak, menangis dan berlari meninggalkanku seorang diri di ruangan yang menjadi kamarku ini.
            Mataku telah menyembab. Beberapa malam ini hanya kuhabiskan dengan mengisak. Jika waktu salat tiba, kuhentikan isakan itu untuk  mengadu kepada Tuhanku. Dalam doa, aku pun kembali mengisak. Aku lebih rela menunggu matiku di kampung saja, bersama orang-orang yang mengenalku sejak aku baru muncul di bumi ini. Tidak seperti di sini, yang bahkan dengan anakku satu-satunya, aku merasa begitu asing.
            Dalam isakan di tengah doaku,  sebuah lengan mencengkaram bahu tuaku. Dengan mata basah, aku melihat wajah putraku dengan pandangan yang menjadi kabur karena mata yang berair ini.
            “Bu, kalau Ibu tinggal di kampung, siapa yang akan merawat Ibu? Siapa yang akan menyiapkan makanan untuk Ibu? Kalau tengah malam Ibu sakit perut, siapa yang akan tahu? Bukannya kewajibanku untuk menjaga Ibu? Lantas bagaimana aku bisa tega membiarkan Ibu yang sudah tua tinggal sendiri di kampung?” Rayuan anakku ini hanya terbalas isakan olehku.
            Melihatku hanya membalas setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan isakan, anakku pun melewati pintu kamar dan meninggalkanku. Aku yakin mataku telah sangat memerah saat ini. Kuayunkan tangan membuka pintu kamar, kuayunkan langkah menuju pintu yang akan membebaskanku dari rumah ini. Setengah berlari, aku menjauh dari rumah yang telah memberiku kamar, rumah yang telah memberikanku kasur yang mudah mengempis, rumah yang telah di dalamnya, telah tersedia makananku secara teratur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar