Oleh Sari Fitria
Kutopangkan dagu pada
telapak tangan dan kutumpukan sikunya pada kusen jendela yang memiliki dua daun
pintu. Kayu-kayu pembentuk kusen ini terlihat begitu kokoh, warna coklat tua
makin membuatnya terlihat semakin kokoh. Tak hanya kusen jendela di kamarku
saja, sebagian jendela dan pintu dari rumah ini juga terbuat dari kayu jati
yang kokoh dengan warna coklat yang makin mempertajam kokohnya. Sementara itu,
beberapa jendela lainnya merupakan rangkaian besi-besi yang membentuk
ukiran-ukiran yang tak biasa kutemui di tempat asalku.
Aku
pun bisa berkaca pada lantai yang kutapaki ini. Ketika kutekukkan kepala,
sepasang bola mata langsung menantang kedua bola mataku. Agak ke bawah dengan
posisi diantara kedua mata itu, muncul hidung dan dibawahnya lagi, lekuk bibir
tergambar samar-samar. Semuanya berwarna sama saja. Mata, hidung, dan bibirku
terpantul dalam satu warna pada lantai licin merah hati ini.
Mewah.
Hunian ini memang teramat mewah bagiku yang biasa menghabiskan hari di hunian
tanpa batu. Setiap dinding di ruangan ini tersaji dalam berbagai warna. Dinding
kamarku ini hijau. Ketika baru memasuki pintu rumah ini, dinding putih akan
menyambut mata. Jika aku beranjak ke dapur, dinding birulah yang menemaniku.
Ah, aku sangat jarang menginjak dapur di tempat ini. Hariku hanya banyak
dihabiskan di kamar ini, bersama kasur yang besarnya tiga kali lipat dari
tubuhku. Juga lemari yang tingginya jauh melebihi tubuhku. Lemari ini menempel
di dinding dan di sisi kanan tempat tidurku. Sisi kiri tempat tidur ini menjadi
tempat yang sering kukunjungi. Jika harus berada di kamar dan bosan berbaring
dan mengantuk, aku selalu menuju sisi kiri tempat tidurku ini. Di sini, mataku
bisa lepas dari kebosanan yang selama ini dilihatnya. Di sisi kiri tempat tidur
ini, bagian tengah dindingnya seakan bolong sehingga mataku pun takkan
terkukung pada dinding-dinding hijau saja.
Di
bagian bolong yang memetak ini, aku bisa menjernihkan kedua bola mataku dengan
menyaksikan ulat kecil yang menikmati daun dari bunga kertas yang rantingnya
menjalar hingga begitu dekat dengan jendela kamarku. Jambu-jambu yang
bergelantungan dan mulai memerah pun juga menjernihkan pandangan. Sayang,
penjernihan mata ini cuma bisa kurasakan sampai pohon jambu itu. Setelah itu,
tembok yang beberapa jengkal melebihi tinggiku menghalangi pandangan. Aku pun
hanya penasaran ingin menyaksikan sesuatu dibalik tembok itu secara bebas tanpa
harus terhalang susunan batu tinggi yang menjadi benteng rumah ini.
Haus menyiksaku berlama-lama di
jendela ini. Tak perlu jauh untuk sekedar menjangkau air putih karena di dekat jendela
ini, sebuah meja kecil telah sengaja disediakan untukku. Di atas meja itu,
sebuah ceret dan gelas selalu betah berada di sana. Aku tinggal menuang air
saja jika haus. Masih di atas meja, empat bungkus makanan ringan tersusun rapi,
satu diantaranya telah kubuka dan kuikatkan karet diujungnya yang terbuka agar
tak mengundang semut untuk ikut mencicipinya. Telah dua minggu biskuit-biskuit
itu di sana. Waktu pertama kali menantuku mengantarkannya ke kamar, langsung
kubuka biskuit itu setelah ia keluar dari kamarku. Tapi, biskuit itu tak mampu
mengalahkan rinduku pada batiah,
paniaram, dan galamai.
Ah, berlama-lama di sini benar-benar
membunuhku perlahan. Di minggu-minggu pertama setelah anakku membawaku ke tempat
ini, aku berjalan-jalan mencari teman, tapi aku tak menemukan tetangga yang
berteriak agar aku singgah sebentar di rumahnya, juga tak ada segerombolan anak-anak
yang berlarian, namun tetap menyapa dan tersenyum ketika orang-orang melewati
mereka, bahkan ayam-ayam pun tak berkeliaran di sini. Aku hanya menemukan deru
motor dan mobil yang menjadi-jadi ributnya ketika melewatiku.
Seringnya, memang hanya kuhabiskan
waktu di kamar ini. Pernah aku tak dikamar dan berada di ruang lain di kamar
ini. Di sana, menantu dan dua orang cucuku sering menghabiskan waktu. Jika
malam, anak semata mayangku juga ada di sana. Di ruang itu, mereka berselonjor
dengan mata memandang pada satu tujuan. Sebuah kotak persegi yang memantulkan
cahaya, mengeluarkan suara, dan menayangkan berbagai benda dan makhluk di
dalamnya. Semua itu selalu mampu menarik perhatian anak, menantu dan
cucu-cucuku. Aku tak mengerti mengapa mereka berlama-lama di depan kotak
persegi itu. Bagiku, memfokuskan mata pada kotak itu terasa melelahkan.
“Kalau Ibu lelah, tiduran saja di
kamar,” seru menantuku saat kuhenyakkan pantat di sofa empuk di ruangan lain di
rumah ini. Aku tahu, menantuku itu bukannya perhatian padaku, tapi pastilah dia
tak ingin kursi empuknya itu diduduki wanita tua yang menyusahkan sepertiku.
Kali ini, aku benar-benar merindukan
hunianku yang berdindingkan anyaman bambu, berlantaikan papan dan terdapat
kolong yang juga berguna untuk kandang ayam di bawahnya. Dua kali Idul Fitri aku
lalui di sini. Saatku meminta kepada anakku untuk pulang kampung beberapa hari
saja untuk sekedar tahu keadaan rumah di kampung yang telah dua tahun tak
pernah dihuni, putraku selalu beralasan.
Kemeja
dan dasi yang digunakannya lima hari dalam seminggu selalu menjadi penghalang
kepergianku untuk pulang kampung. Dua hari tak bekerja dalam seminggu itu
adalah waktu luang baginya untuk melepaskan lelah setelah lima hari membanting
tulang. Lama kelamaan, penolakannya untuk selalu memabawaku pulang kampung
membungkam mulutku untuk memintanya.
Lama kuangkat tangan untuk memohon
pada yang kuasa agar memutus nafasku ketika aku sedang di kampung saja. Aku
sungguh tak ingin terkubur di tanah yang
tak kukenal ini. Aku pun sudah ingin untuk tak berdoa seorang diri di kamar
ini. Dulu, seringnya aku berdoa bersama dengan masyarakat satu kampung di surau nagari kami. Entah dengan siapa
aku harus memohon untuk ini semenjak pintaku hanya dibalas seribu alasan oleh
putraku.
***
Semakin lama, hidup di sini makin
terasa menyiksa. Aku tak lagi berselera memasukkan nasi dan lauk melewati
kerongkonganku. Kebosananku akan penolakan-penolakan putraku untuk mengantarkanku
pulang kampung membuatku membanting piring berisi nasi dan lauk yang coba
diberikan cucuku ke tanganku. Dia tersentak, menangis dan berlari
meninggalkanku seorang diri di ruangan yang menjadi kamarku ini.
Mataku telah menyembab. Beberapa
malam ini hanya kuhabiskan dengan mengisak. Jika waktu salat tiba, kuhentikan
isakan itu untuk mengadu kepada Tuhanku.
Dalam doa, aku pun kembali mengisak. Aku lebih rela menunggu matiku di kampung
saja, bersama orang-orang yang mengenalku sejak aku baru muncul di bumi ini. Tidak
seperti di sini, yang bahkan dengan anakku satu-satunya, aku merasa begitu asing.
Dalam isakan di tengah doaku, sebuah lengan mencengkaram bahu tuaku. Dengan
mata basah, aku melihat wajah putraku dengan pandangan yang menjadi kabur
karena mata yang berair ini.
“Bu, kalau Ibu tinggal di kampung,
siapa yang akan merawat Ibu? Siapa yang akan menyiapkan makanan untuk Ibu? Kalau
tengah malam Ibu sakit perut, siapa yang akan tahu? Bukannya kewajibanku untuk
menjaga Ibu? Lantas bagaimana aku bisa tega membiarkan Ibu yang sudah tua
tinggal sendiri di kampung?” Rayuan anakku ini hanya terbalas isakan olehku.
Melihatku hanya membalas setiap kata
yang keluar dari mulutnya dengan isakan, anakku pun melewati pintu kamar dan
meninggalkanku. Aku yakin mataku telah sangat memerah saat ini. Kuayunkan
tangan membuka pintu kamar, kuayunkan langkah menuju pintu yang akan
membebaskanku dari rumah ini. Setengah berlari, aku menjauh dari rumah yang
telah memberiku kamar, rumah yang telah memberikanku kasur yang mudah
mengempis, rumah yang telah di dalamnya, telah tersedia makananku secara
teratur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar