09/11/11

Tulisan Tangan

Oleh Sari Fitria

            Sejak aku telah begitu lancar mengeja deretan huruf yang bisa membentuk kata-kata, maka sejak itu pula aku menyukai bacaan. Bagiku, terasa menakjubkan ketika kucoba menggandengkan huruf-huruf yang berbeda di atas secarik kertas, lantas huruf-huruf yang berderet manis itu akan membentuk sebuah kata. Jika aku tukar susunan huruf-huruf itu, aku kembali takjub karena sebuah kata baru akan tercipta. Ketakjuban-ketakjuban itu akhirnya membawaku pada takjub yang sangat lebih pada seseorang di masa lalu yang telah menciptakan huruf, juga kata.

            Sejak aku telah begitu lancar menuliskan huruf, juga menuliskan kata-kata, bahkan menuliskan begitu banyak kalimat hingga selembar kertas yang putih bersih terlihat bernoda karena begitu banyak huruf yang aku goreskan di atasnya, maka sejak itu pula aku tergila-gila pada huruf, kata, juga kalimat. Karena kegilaan dan kecintaanku ini, aku pun mulai mencari sahabat pena. Dengan memiliki banyak sahabat pena, aku pasti akan menemukan kalimat-kalimat yang berbeda. Tak hanya itu, aku juga bisa melihat berbagai bentuk tulisan tangan yang berbeda.
Setelah banyak melihat tulisan tangan dari banyak orang, aku berani memastikan bahwa tak pernah ada orang yang memiliki tulisan tangan yang sama. Jika melihat sekilas, mungkin aku bisa tertipu karena tulisan tangan beberapa orang yang terlihat sama. Tapi jika diperhatikan lebih lama, pasti akan terlihat kalau tulisan tangan itu tak pernah sama, mungkin hanya mirip saja. Hal ini membuatku lebih takjub ketika membayangkan ada miliaran, atau ratusan miliar, ah bukan, kurasa jutaaan miliar tulisan tangan yang berbeda di atas dunia ini. Maka keinginanku untuk memiliki banyak sahabat pena semakin menggebu-gebu. Uang jajanku tak lagi banyak kuhabiskan untuk mengisi perut. Seringnya, uang itu habis untuk membeli perangko karena dalam seminggu, aku harus membalas puluhan surat dari sahabat-sahabat penaku itu. Sayang, setelah bertahun-tahun saling berkirim surat dengan mereka, kini satu persatu mereka mulai hilang dan tak membalas surat-suratku. Pernah suatu kali aku langsung ke kantor pos untuk menjemput surat-surat balasan itu, mungkin saja surat itu lupa diantarkan atau tercecer diantara banyaknya surat yang tiap hari membanjiri kantor pos. Tapi sia-sia saja karena surat balasn itu memang tak pernah ada.
            Saat baru-baru memiliki sahabat pena, aku hanya tak menerima dua hingga lima balasan surat. Tapi setelah bertahun-tahun, aku hanya menerima dua hingga lima balasan surat. Satu persatu, aku mulai kehilangan sahabat-sahabat penaku. Aku pernah mengirimi mereka lima surat sekaligus, tapi tetap saja tak ada surat balasan yang kuterima.
            Saat ini, hanya dua orang saja yang masih berbalas surat denganku. Salah satu dari mereka yang berasal dari Padang memintaku melanjutkan komunikasi kami facebook. “Kan lebih mudah,” begitu katanya.
            Aku bukannya orang yang tak up to date sehingga enggan menerima ajakannya untuk melanjutkan komunikasi melalui facebook. Tapi jika aku kehilangan sahabat pena yang tak mau lagi membalas surat-suratku, lantas bagaimana aku bisa mengagumi jutaan miliar tulisan tangan yang berbeda dan tersebar di atas dunia ini.
            Kutuangkan kegelisahanku ini pada beberapa lembar kertas yang akan kukirimkan pada Yama, satu-satunya teman pena yang masih membalas surat-suratku setelah bertahun-tahun kami saling memahami melalui tulisan tangan yang kami simpan rapi di dalam amplop, lantas meminta bantuan Pak Pos untuk mengirimkannya.
            Seperti biasa, aku tak pernah sampai berminggu-minggu menerima balasan surat dari Yama. Kali ini pun begitu, dengan tak sabar aku mencoba membuka bagian amplop yang telah direkatkan dengan lem. Aku begitu tak sabar membaca tulisan tangan Yama yang berisi tanggapan atas kegelisahanku yang telah aku ceritakan padanya.  Aku yakin Yama tak sama dengan sahabat penaku lainnya, yang karena telah terlalu sering merepotkan Pak Pos dan kemudian merasa sungkan, maka memutuskan untuk tak lagi menulis surat.
            Setelah berhasil kubuka bekas rekatan di amplop itu, aku pun membuka selembar kertas di dalamnya. Seperti biasa, Yama selalu melipat kertasnya dengan tiga lipatan. Langsung saja kubuka lipatan itu untuk menemukan penawar kegelisahanku yang ditawarkan Yama melalui tulisan tangannya. Tapi penawar itu tak kujumpai di atas kertas itu. Jangankan kata, satu huruf pun tak kutemui di selembar kertas yang dikirimkan itu. Kertas itu hanya berisi sebuah gambar wajah yang sedang tersenyum. Gambar itu terlihat sederhana saja dan bukanlah sebuah gambar rumityang membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikannya. Mungkin anak umur 8 tahun pun bisa membuat gambar wajah yang yang tersenyum itu.
            Kegelisahanku semakin menjadi-jadi setelah menerima gambar yang dikirimkan Yama. “Apa artinya gambar yang tersenyum itu? Apa mungkin gambar wajah yang tersenyum itu adalah bentuk sindiran Yama kepadaku yang dianggap kolot karena menjadi orang yang masih mempertahan keberadaan Pak Pos? Tapi gambar wajah tersenyum yang dikirimkan padaku ini menandakan kalau yama masih menggunakan layanan pos, sama sepertiku.”
            Beribu tanda tanya yang telah menyesaki pikiranku itu kembali kutuangkan di atas kertas. Kali ini bukan lagi dengan selembar kertas, tapi empat lembar kertas yang berisi tuntutanku atas surat terkahir Yama yang kuterima.  
            Tak sampai dua minggu, aku kembali menerima surat balasan dari Yama. Kali ini amplop pembungkus surat itu terasa lebih tebal.  Aku tersenyum, sebentar lagi aku akan kembali melihat tulisan tangan Yama yang begitu panjang. Pasti Yama telah menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk memberikan penjelasan tentang gambar wajah yang tersenyum itu. Tapi aku salah, di dalam amplop itu hanya ada sejumlah foto, semuanya berjumlah empatbelas lembar. Semua foto itu adalah foto sebuah jembatan di jalan raya. Foto-foto itu ditandai dengan angka yang berbeda-beda di bagian belakangnya. Aku mengurutkan foto-foto itu berdasarkan angka yang tertera di belakangnya. Sekarang, aku telah menjejerkan empat foto di atas meja. Semua foto itu tampak sama, sebuah jembatan di jalan raya. Tidak, setiap foto ini berbeda meski objek yang difotonya sama. Semua foto ini memang foto sebuah jembatan di jalan raya, tapi foto ini seolah saling menyambung karena diambil dalam waktu yang berbeda, namun berkala. Ya, aku baru menyadari bahwa jembatan pada foto keempat belas tak lagi persis sama dengan jembatan pada foto pertama. Selalu ada perubahan pada setiap jembatan di semua foto-foto ini meski jembatan itu adalah jembatan yang sama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar