Oleh Sari Fitria
Sejak aku telah begitu lancar
mengeja deretan huruf yang bisa membentuk kata-kata, maka sejak itu pula aku
menyukai bacaan. Bagiku, terasa menakjubkan ketika kucoba menggandengkan
huruf-huruf yang berbeda di atas secarik kertas, lantas huruf-huruf yang berderet
manis itu akan membentuk sebuah kata. Jika aku tukar susunan huruf-huruf itu,
aku kembali takjub karena sebuah kata baru akan tercipta. Ketakjuban-ketakjuban
itu akhirnya membawaku pada takjub yang sangat lebih pada seseorang di masa
lalu yang telah menciptakan huruf, juga kata.
Sejak aku telah begitu lancar
menuliskan huruf, juga menuliskan kata-kata, bahkan menuliskan begitu banyak
kalimat hingga selembar kertas yang putih bersih terlihat bernoda karena begitu
banyak huruf yang aku goreskan di atasnya, maka sejak itu pula aku tergila-gila
pada huruf, kata, juga kalimat. Karena kegilaan dan kecintaanku ini, aku pun
mulai mencari sahabat pena. Dengan memiliki banyak sahabat pena, aku pasti akan
menemukan kalimat-kalimat yang berbeda. Tak hanya itu, aku juga bisa melihat
berbagai bentuk tulisan tangan yang berbeda.
Setelah
banyak melihat tulisan tangan dari banyak orang, aku berani memastikan bahwa tak
pernah ada orang yang memiliki tulisan tangan yang sama. Jika melihat sekilas,
mungkin aku bisa tertipu karena tulisan tangan beberapa orang yang terlihat
sama. Tapi jika diperhatikan lebih lama, pasti akan terlihat kalau tulisan
tangan itu tak pernah sama, mungkin hanya mirip saja. Hal ini membuatku lebih
takjub ketika membayangkan ada miliaran, atau ratusan miliar, ah bukan, kurasa
jutaaan miliar tulisan tangan yang berbeda di atas dunia ini. Maka keinginanku
untuk memiliki banyak sahabat pena semakin menggebu-gebu. Uang jajanku tak lagi
banyak kuhabiskan untuk mengisi perut. Seringnya, uang itu habis untuk membeli
perangko karena dalam seminggu, aku harus membalas puluhan surat dari
sahabat-sahabat penaku itu. Sayang, setelah bertahun-tahun saling berkirim
surat dengan mereka, kini satu persatu mereka mulai hilang dan tak membalas
surat-suratku. Pernah suatu kali aku langsung ke kantor pos untuk menjemput
surat-surat balasan itu, mungkin saja surat itu lupa diantarkan atau tercecer
diantara banyaknya surat yang tiap hari membanjiri kantor pos. Tapi sia-sia
saja karena surat balasn itu memang tak pernah ada.
Saat baru-baru memiliki sahabat pena,
aku hanya tak menerima dua hingga lima balasan surat. Tapi setelah bertahun-tahun,
aku hanya menerima dua hingga lima balasan surat. Satu persatu, aku mulai
kehilangan sahabat-sahabat penaku. Aku pernah mengirimi mereka lima surat
sekaligus, tapi tetap saja tak ada surat balasan yang kuterima.
Saat ini, hanya dua orang saja yang
masih berbalas surat denganku. Salah satu dari mereka yang berasal dari Padang
memintaku melanjutkan komunikasi kami facebook.
“Kan lebih mudah,” begitu katanya.
Aku bukannya orang yang tak up to date sehingga enggan menerima
ajakannya untuk melanjutkan komunikasi melalui facebook. Tapi jika aku kehilangan sahabat pena yang tak mau lagi
membalas surat-suratku, lantas bagaimana aku bisa mengagumi jutaan miliar
tulisan tangan yang berbeda dan tersebar di atas dunia ini.
Kutuangkan kegelisahanku ini pada
beberapa lembar kertas yang akan kukirimkan pada Yama, satu-satunya teman pena yang
masih membalas surat-suratku setelah bertahun-tahun kami saling memahami melalui
tulisan tangan yang kami simpan rapi di dalam amplop, lantas meminta bantuan
Pak Pos untuk mengirimkannya.
Seperti biasa, aku tak pernah sampai
berminggu-minggu menerima balasan surat dari Yama. Kali ini pun begitu, dengan
tak sabar aku mencoba membuka bagian amplop yang telah direkatkan dengan lem.
Aku begitu tak sabar membaca tulisan tangan Yama yang berisi tanggapan atas
kegelisahanku yang telah aku ceritakan padanya. Aku yakin Yama tak sama dengan sahabat penaku
lainnya, yang karena telah terlalu sering merepotkan Pak Pos dan kemudian
merasa sungkan, maka memutuskan untuk tak lagi menulis surat.
Setelah berhasil kubuka bekas
rekatan di amplop itu, aku pun membuka selembar kertas di dalamnya. Seperti
biasa, Yama selalu melipat kertasnya dengan tiga lipatan. Langsung saja kubuka
lipatan itu untuk menemukan penawar kegelisahanku yang ditawarkan Yama melalui
tulisan tangannya. Tapi penawar itu tak kujumpai di atas kertas itu. Jangankan
kata, satu huruf pun tak kutemui di selembar kertas yang dikirimkan itu. Kertas
itu hanya berisi sebuah gambar wajah yang sedang tersenyum. Gambar itu terlihat
sederhana saja dan bukanlah sebuah gambar rumityang membutuhkan waktu
berjam-jam untuk menyelesaikannya. Mungkin anak umur 8 tahun pun bisa membuat
gambar wajah yang yang tersenyum itu.
Kegelisahanku semakin menjadi-jadi
setelah menerima gambar yang dikirimkan Yama. “Apa artinya gambar yang
tersenyum itu? Apa mungkin gambar wajah yang tersenyum itu adalah bentuk
sindiran Yama kepadaku yang dianggap kolot karena menjadi orang yang masih
mempertahan keberadaan Pak Pos? Tapi gambar wajah tersenyum yang dikirimkan
padaku ini menandakan kalau yama masih menggunakan layanan pos, sama sepertiku.”
Beribu tanda tanya yang telah
menyesaki pikiranku itu kembali kutuangkan di atas kertas. Kali ini bukan lagi dengan
selembar kertas, tapi empat lembar kertas yang berisi tuntutanku atas surat
terkahir Yama yang kuterima.
Tak sampai dua minggu, aku kembali
menerima surat balasan dari Yama. Kali ini amplop pembungkus surat itu terasa
lebih tebal. Aku tersenyum, sebentar
lagi aku akan kembali melihat tulisan tangan Yama yang begitu panjang. Pasti
Yama telah menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk memberikan penjelasan
tentang gambar wajah yang tersenyum itu. Tapi aku salah, di dalam amplop itu
hanya ada sejumlah foto, semuanya berjumlah empatbelas lembar. Semua foto itu
adalah foto sebuah jembatan di jalan raya. Foto-foto itu ditandai dengan angka
yang berbeda-beda di bagian belakangnya. Aku mengurutkan foto-foto itu
berdasarkan angka yang tertera di belakangnya. Sekarang, aku telah menjejerkan
empat foto di atas meja. Semua foto itu tampak sama, sebuah jembatan di jalan
raya. Tidak, setiap foto ini berbeda meski objek yang difotonya sama. Semua
foto ini memang foto sebuah jembatan di jalan raya, tapi foto ini seolah saling
menyambung karena diambil dalam waktu yang berbeda, namun berkala. Ya, aku baru
menyadari bahwa jembatan pada foto keempat belas tak lagi persis sama dengan
jembatan pada foto pertama. Selalu ada perubahan pada setiap jembatan di semua
foto-foto ini meski jembatan itu adalah jembatan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar