05/03/10

Belenggu


Oleh Sari Fitria



Aku memandangi tanganku yang terikat rantai. Rantai-rantai besi itu mengikat begitu erat. Telah beberapa kali aku mencoba membukanya. Melalui cara lembut dengan cara menggesek-gesekan lenganku, menarik ikatannya dengan gigi agar bisa sedikit melonggar, dan dengan cara menarik kasar lenganku agar ikatan rantai itu bisa terlepas. Tapi semuanya sia-sia saja, rantai-rantai besi itu seakan telah menyatu dengan tubuhku.
Perih juga begitu terasa di pergelangan kakiku yang sedikit pun tak bisa aku gerakkan. Kedua kakiku selalu berselonjor. Aku penat dengan itu, aku ingin sekali menekuk kakiku, tapi aku tak mampu karena keduanya terikat begitu erat. Hingga akhirnya aku lelah mencoba terlepas dari semua belenggu yang terasa menyiksa ini.

Aku mulai terbiasa dengan belenggu di tangan dan kaki itu layaknya terbiasa mendengar cengkrama kera di atas pohon di sebelah ruangan tempat aku berdiam ini. Juga terbiasa dengan desis ular yang sekali-kali melintas di depanku. Aku pun terbiasa mendengar suara merdu burung yang bernyanyi. Namun, semua itu hanya sementara. Semua itu tak selalu ada menemaniku. Seringnya, aku hanya ditemani gemersik angin yang terdengar menyapa ketika melintasi daun-daun di pepohonan. Aku memang telah terbiasa dengan semua itu sekarang.
Jika ayah berkunjung dan meninggalkan sebungkus nasi untuk memastikan agar aku tetap bernyawa, aku tak lagi memberontak. Aku hanya menikmati butir demi butir nasi itu. Kadang, aku perhatikan mereka cukup lama. Aku tertawa melihat mereka yang tak sabar ingin segera melewati kerongkonganku. Tapi, aku tak ingin mereka semua lenyap di kerongkonganku begitu saja. Aku ingin beberapa dari mereka tinggal dan menemaniku jika dingin mulai datang.
Dari dalam sini, semuanya tampak sama saja. Aku tak tahu kapan waktunya tidur dan kapan aku harus bangun. Makanya, aku memilih melelapkan diri jika inginku sedang ada. Tapi, setidaknya aku masih bisa menikmati sedikit cahaya dari kumpulan daun kelapa yang telah mengering dan anyaman bambu yang sedikit memiliki sela itu.
Aku tak menyadari lagi sudah berapa lama aku di sini. Jika mulai terasa letih, aku sedikit menggeser pantatku. Untuk bergeser agak jauh memang tak bisa karena kakiku yang terus-terusan berselonjor ini telah mengekang gerakku. Tapi aku bisa merasakan hangatnya tanah bekas pantatku setelah beberapa saat kududuki. Aku merasa senang jika telapak tanganku bisa merasakan hangatnya tanah bekas pantat itu. Rasanya mengenakkan.
Aku tengah bergurau dengan semut-semut saat ayahku masuk. Bunyi krek mengiringi langkah ayah saat membuka pintu tua yang telah rapuh. Aku selalu tak berkutik melihat mata ayah yang begitu garang. Mata itu selalu mampu memaksaku untuk menundukkan kepala, menatap ke bawah, meyaksikan telunjuk kiri dan kananku saling mencoba untuk berkait. Aku lebih nyaman menyaksikan jari-jari yang tengah bermain itu daripada harus menatap ayah. Tapi, kali ini pandanganku terpaksa beralih dari telunjuk yang saling berkait itu saat Ayah secara tiba-tiba menyentakkan kedua kayu yang telah membelengguku selama ini. Tampak bagiku kedua pergelangan kakiku yang telah memerah.
Ayah menatap lama pada kedua pergelangan kakiku itu. Dari tas karung yang disandangnya, Ayah mengeluarkan sebotol air dan mengalirkannya ke kedua pergelangan kakiku secara perlahan. Aliran air itu begitu dingin dan terasa menyejukkan di kedua pergelangan kakiku. Lantas, Ayah beralih dari kedua pergelangan kakiku yang telah tak terbelunggu. Ia melangkah ke sebuah tiang dari kayu yang tampak masih kokoh, yang juga menjadi penyangga berdirinya tempat hunianku ini. Di sana, ia menghentakkan gulungan rantai sehingga tidak menggulung lagi. Ia juga melakukan hal yang sama pada tiang yang lain di tempatku berdiam ini. Setelah rantai-rantai itu telah tak terikat lagi lagi di tiang-tiangnya. Ayah meraih tangan kiriku. Tak begitu sulit baginya melepas rantai yang telah menyatu di pergelangan tanganku bebrapa lama ini. Lagi-lagi, Ayah menatap lama ke pergelangan tanganku itu. Senyumku mengembang melihat kedua pergelangan tanganku yang seakan tengah mengenakan gelang berwarna merah. Di beberapa bagian pada gelang itu, terdapat bercak-bercak hitam. Aku merasakan perih saat Ayah memisahkan rantai-rantai itu dari pergelangan tanganku. Kembali Ayah meraih botol minumannya dan mengalirkan air ke kedua pergelangan tanganku itu. Menyisakan sejuk di gelang-gelang merah itu.
***
Langkahku pendek-pendek saja, tawaku mengeluarkan sedikit sengau saat menyaksikan Mak Emi dan Tina, anaknya, sedang menghentak-hentakkan sebuah kayu yang panjangnya mencapai ubun-ubun Mak Emi ke sebuah batu yang cukup besar, yang bagian tengahnya telah membentuk lubang yang hampir mencapai dasar batu itu. Aku mendekati Mak Emi, Tina yang tingginya baru mencapai pinggang Mak Emi sedikit bergeser ke belakang Ibunya sehingga tubuh kecilnya pun tersembunyi dibalik tubuh Mak Emi yang lebar. Aku memberatkan kepalaku ke arah kiri agar bisa lebih leluasa menyaksikan wajah anak kecil berambut pendek itu. Mak Emi pun menjulurkan tangannya ke belakang dan segera menggenggam tangan kecil Tina.
“Sudah sehat kau rupanya Eti. Kau sudah makan?” Suara parau Mak Emi masih sama seperti dulu. Aku masih ingat ketika aku dan Mak Emi bersama-sama menyiangi sawahnya yang mulai ditumbuhi rumput. Saat itu, Tina masih sangat kecil, dia baru bisa menangis. setelah penat menyiangi rumput yang tumbuh di sekitar sawah itu, Mak Emi mengajakku naik ke pematang. Di sana, ia membentangkan kain sarung lusuh yang sebelumnya terikat di pinggangnya, lantas mengeluarkan makanan yang telah dibungkus dengan daun pisang. Daun pisang itu terlihat berpeluh. Saat Mak Emi membuka bungkusan dari daun pisang itu, seonggok nasi yang juga berpeluh seakan mampu melupakan kepenatanku.
Aku mengalihkan pandanganku, mencoba mencari tahu apa yang sedang ditumbuk Mak Emi. Aku menangkap butiran-butiran beras yang mulai lebur. Mak Emi kembali mengayunkan tongkatnya mencoba melumat-lumat butiran beras itu. Rupanya Mak Emi ingin mengubah beras itu menjadi tepung. Aku ingat, dulu aku pun sering membuat beras menjadi tepung. Beras itu harus direndam dulu selama sepuluh menit. Setelah memiliki tepung beras itu, aku akan sibuk di dapur membuatkan rakik maco untuk Ayah. Ayah lahap sekali kalau makan dengan rakik maco buatanku. Seulas senyum selalu menghiasi wajahku jika kuingat masa-masa itu.

Segera kutarik kembali bibirku yang telah melebar akibat senyuman itu karena aku baru saja mendengar ribut-ribut dari arah belakangku. Saat kubalikkan badan, beberapa anak kecil tampak berbisik-bisik sambil melihat ke arahku. Aku memberikan senyum pada mereka. Tapi, secara serempak mereka mundur beberapa langkah setelah kuberikan senyum itu. Aku sungguh ingin bermain dengan mereka. Aku beralih meninggalkan Mak Emi yang masih menumbuk beras dengan Tina yang masih berada di belakang tubuh lebar Ibunya itu. Tawaku mucul saat melihat kerumunan anak-anak yang mulai ribut itu. Aku juga ingin tahu apa yang membuat mereka ribut. Aku ingin mereka membaginya denganku, makanya aku mendekati anak-anak itu. Tapi, ketika aku hampir menggapai mereka, seketika kerumunan anak-anak itu menjadi kacau.
Aku melihat beberapa dari mereka berlarian ke arah kanan, sebagian lagi ke arah kiriku. Mereka semakin jauh dariku, namun penglihatanku masih bisa menangkap seorang anak perempuan yang terjatuh ketika berlari karena tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya saat tersenggol anak perempuan lainnya. Anak yang terjatuh itu meringis dan menangis. Kalau aku tak salah, anak perempuan kecil itu adalah Sarah, anak Mak Mis. Aku berlari ke arahnya, aku ingin membantunya berdiri dan melihat lututnya yang mengeluarkan darah. Aku mendengarnya meraung dan menangis, pastilah dia begitu kesakitan. Raungannya makin tajam saat aku semakin mendekatinya. Ketika aku telah hampir bisa meraih lututnya yang berdarah itu, tiba-tiba tubuhku terjungkal. Sikuku mendarat duluan ke tanah yang berbatu. Saat kuangkat kepala, aku melihat Mak Mis telah menggendong anak perempuan yang jatuh tadi. Dengan tergesa, dia meninggalkanku yang masih setengah terbaring di atas tanah berbatu ini. Aku bangkit, mengalihkan mata ke sikuku yang terasa sedikit perih. Dua buah goresan pendek tampak di sekitar sikuku. Goresan itu merah.
Aku mencoba mengejar Mak Mis dan tak menghiraukan luka itu. Aku ingin memberitahunya tentang luka yang bersarang di tempurung lutut anaknya. Aku yakin Mak Mis melihatku mengejarnya, tapi bukannya memperlambat langkah, dia malah makin mempercepat jalannya menjadi setengah berlari. Nafasku semakin memburu untuk mendapatkan Mak Mis yang sekarang telah berlari. Suaraku parau meneriaki namanya berulang-ulang. Aku tak mengerti kenapa dia harus berlari dariku. Aku semakin mengenal jalan setapak yang dilalui Mak Mis ini. Aku begitu tak asing dengan jalan dan pohon-pohon di sekitar jalan setapak ini. Saat aku menyadari ini adalah jalan menuju sawah ayahku, yang di sebelahnya terdapat sebuah bangunan kecil yang dinding-dindingnya merupakan anyaman bambu, lantainya adalah tanah yang sering kali lembab dan atapnya adalah sekumpulan daun kelapa kering.
Mendadak satu rasa yang membuatku tubuhku menggigil muncul. gigilan itu semakin terasa saat mendengar suara Ayah yang meneriakkan namaku. Ayah seketika telah menarik tanganku dengan kasar. Aku meronta, menangis, tapi Ayah tetap meyeretku, menyeretku hingga ia berhasil membuka pintu tua yang berderik itu lantas meninggalkanku kembali dalam kegelapan, dimana aku hanya bisa menikmati seberkas cahaya dari celah rumbia dan anyaman bambu yang bersela itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar