27/11/12

Tulisan Pertama untuk Ayah

Aku meradang melihat rautmu yang pasi sepulang dari usahamu menjadi warga yang baik itu, Ayah. Setelah memenuhi panggilan sang penegak hukum, kau bukannya merasa aman, tapi tubuhmu malah penuh dengan gigil. Kau tentu saja tak bersalah karena kau hanya seorang tua yang tidak sengaja melihat pertengkaran dua orang tetangga. Atas nama hukum, kau pun melangkahkan kaki ke istana sang penegak hukum sebagai saksi. Ya, di dalam surat atas nama hukum itu, mereka dengan kuasa menjadikanmu saksi, sang pemberi keterangan.Lantas, kau tinggalkan rumah dengan langkah ringan. Pikirmu, di sana tentu kau hanya menceritakan apa yang kau lihat. Tapi, nyatanya kita yang kecil ini hanya makanan bagi mereka yang berpangkat Ayah. Kau harus seharian di sana, di sebuah ruangan dan dikelilingi empat orang berseragam yang silih berganti mencercamu. Aku tahu, ini kali pertamu di sana. Raga tua siapa yang tak rapuh dikelilingi pria-pria muda yang menyembunyikan kepengecutan meraka dibalik seragam. Bahkan, kala waktu makan siang dan seorang teman datang membawa sebungkus nasi untuk mengganjal perutmu, mereka tanpa segan memintanya dan tanpa ampun melahap makanan itu. Sungguh, entah pelindung rakyat macam apa yang kita punya di negri ini, Ayah. Kau, dengan umurmu yang telah paruh baya, yang dengan tubuhmu yang tinggal kerangka, harus terpaksa menyesak gigil di dalam dada. Hingga sore, waktumu pulang telah tiba. Tapi lagi-lagi inginmu harus tercegat Ayah. Setelah membiarkan perutmu meronta seharian, kini mereka malah memeras isi kantongmu. Lagi-lagi mereka menunjukkan kuasa dibalik seragam sang penguasa. Berapa gigil lagi yang harus kau rasakan dalam sehari ini Ayah!! Kau yang kecil, yang harusnya mendapatkan perlindungan dari mereka, malah diperas dalam jiwa dan raga. Sungguh, aku meradang setelah sampai di rumah dan melihat pandanganmu yang pasi, Ayah. Tapi, lagi-lagi langkah kita tak akan pernah bisa menembus dosa mereka yang tersusun dibalik seragam itu, Ayah! Kelak, jika mereka kembali mengatasnamakan kuasa untuk memerasmu, biarkan kugenggam tanganmu dan kulempar gigil itu ke muka mereka, Ayah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar