19/12/09

Rasa Itu Tak Pernah Sampai

Oleh Sari Fitria


Kedua bola mataku beradu pandang dengannya. Sejenak, kami mematung dan saling menatap dalam., menikmati tatapan itu tanpa diiringi untaian kata. Hanya saja, sesekali aku dapat melihat merah di kedua pipinya. Mungkin juga dia meliat hal yang sama pada wajahku. Tapi, semua itu cuma sampai di sana. Tak pernah berlanjut. Entah mengapa, aku dan dia hanya mampu ‘tuk saling menatap.
Kali ini pun sama. Dari kejauhan aku telah dapat melihat sosoknya tengah berjalan ke arahku. Meskipun jarak kami masih jauh, namun aku bisa merasakan tatapan matanya yang tak lepas dari ragaku. Kurasa merah itu telah kembali hinggap di pipiku dan pipinya. Namun, ketika jarak kami semakin dekat, ia hanya melewatiku. Tak sedikit pun ingin berhenti untuk sekedar menyebut namaku atau pun berkata hai’ padaku. Tapi, cukup denga tatapan itu, aku telah merasakan getar di hati ini. Seolah aku telah dapat merasakan betapa dalamnya rasa yang ia punya untukku. Entah, tapi aku akan merasa kebih sangat berarti jika ia mau mengungkapkan rasa itu. Dan aku pun, tak akan meraba-raba lagi rasa ini.

***
Zzzeg! Dadaku bergemuruh melihatnya. Tak seperti biasa, kali ini tampak jelas ia berjalan menujuku. Aku yakin rentetan kata akan keluar dari mulutnya dan itu pasti ditujukan kepadaku. Saat ini, aku melihatnya tepat di depan pintu kelasku. Sebelumnya aku tak pernah melihatnya berjalan di lingkungan IPS. Karena dia anak IPA, tentunya. Anak IPA memang terkenal pendiam dan jarang bersosialisasi, apalagi dengan anak IPS.
Langkah gontainya perlahan, tapi pasti ke arahku. Jantungku serasa runtuh menunggu jaraknya hingga hanya tinggal beberapa langkah saja dariku. Rasa deg-degan terus menyambar hatiku menuggu kalimat demi kalimat keluar dari mulutnya. Akhirnya masa itu datang juga, langkahnya telah berhenti dan bibirnya telah mengambil ancang-ancang untuk bicara.
***
“Della, kamu mengerti kan kurva penawaran yang Ibu jelaskan ini?”
Aku langsung tersontak setelah Fendi menyenggol bahuku dan kusaksikan kernyitan menghiasi jeda diantara dua alis Bu Elliana.
Jujur, tak kupahami garis-garis yang saling berhubungan di atas koordinat yang di gambar Bu Elliana. Mataku lebih tertarik menyaksiskan sebuah pintu yang terletak tepat di hadapanku. Dari balik pintu itu, sayup-sayup kudengarkan The Click Five melantunikan Jenny.
***
“Woi, Del! Ketauan loe ya. Mau belajar buat Olimpiade Ekonomi atau ngeliatin Ario nih,” canda Fendi dengan khasnya begitu kami melangkahkan kaki dari rumag Bu Elliana.
Tyssia dan Citra pun tak mau kalah mengolok-ngolok aku. Nampaknya, mereka tahu kalau aku memang lebih tertarik dengan putra semata wayang Bu Elliana daripada pelajaran Ekonomi yang diajarkannya. Kurasa kami cocok. Toh, aku juga putri semata wayang orang tuaku. Alhasil, selama perjalanan menuju rumah Pak Ramainur, habislah aku dibantai rentetan-rentetan kata dari teman-teman sekelasku ini. Awalnya, aku merasa risih Fendi, Tyssia, dan Citra menggodaku tentang ario terus-menerus. Apalagi seisi kelas XI IPS 2 mulai mengira kalau aku dan anak Bu Elliana itu ada affair.
Candaan Fendi semakin menjadi-jadi ketika hari terakhir kami belajar di rumah Bu Elliana. Entah disengaja atau tidak, yang pasti cowok melambai satu ini telah berhasil membuat wajahku memerah di depan Bu Elliana. Entah, kupikir aku tak akan bisa lagi berkonsentrasi mengikuti Olimpiade Ekonomi Tingkat Daerah besok. Rasanya, belajar intensif selama satu bulan di rumah Bu Elliana, Bu Emi dan Pak Ramainur selama ini akan menjadi sia-sia saja. Sungguh, kurasa aku tak akan punya muka lagi untuk mengobrol santai dengan Bu Elliana. Kalimat Fendi tadi nampaknya berefek besar untuk hidupku selanjutnya.
***
Dengan langkahnya yang memang anggun, Bu Elliana menghampiri Tyssia, Citra, Fendi dan aku. Pipi putih pucat Bu Elliana pun menempel di pipi berjerawat Tyssia. Dengan senyum teramat puas di wajahnya, Bu Elliana menyelamati Tyssia karena kesuksesannya meraih perak di Olimpiade Ekonomi itu. Citra dan Fendi pun mendapat giliran cipika-cipiki dari Bu Ellliana. Ternyata Citra berada di urutan ke-6, diikuti Fendi di urutan ke-9. mata Bu Elliana pun beralih padaku. Aku memilih untuk menatap lantai saja karena tak kuasa menahan malu atas keberhasilan teman-temanku menjadi sepuluh besar di kompetisi berkelas itu. “Della, selamat ya calon menantu. Untuk soal Ekonomi berbahasa Inggris, poin kamu paling tinggi. Kamu di posisi ke-3, nak,” tutur Bu Elliana sambil merangkul dan menempelkan pipinya ke pipiku.
Setelah kepergian Bu Elliana, jantungku serasa runtuh. Keringat yang terasa dingin menjalar di sela-sela rambut dan punggungku. Kata-kata Fendi yang diimitasi Bu Elliana semakin menambah gemuruh di hatiku. Entah, tapi sosok yang misterius dan tak pernah berinteraksi langsung denganku itu kembali terbayag meski aku yakin rasaku juga rasanya. Bahkan, untuk menyampaikan pesan dari mamanya, dia lebih memilih untuk bicara pada Fendi meskipun aku juga berada di hadapannya kala itu.

*telah dimuat di Singgalang Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar